MAKALAH PERKEMBANGAN ISLAM DI SUMATRA”
KATA
PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul ”perkembangan islam di
sumatra”. Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan
makalah ini berkat bantuan dan
tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk
itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari kesempurnaan baik materi
maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan segala
kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan
oleh karenanya, penulis dengan rendah hati
dan dengan tangan
terbuka menerima masukan,
saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
Penulis
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Makassar, 11 november 2020
DAFTAR ISI
A. Sejarah
Masuk Dan Berkembangnya Islam di Sumatera
B. Keadaan
Masyarakat Sumatra Sebelum Masuknya Islam
C. Masuk dan Berkembangnya
Islam Di Sumatera Selatan
D. Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbicara
mengenai kapan dan siapa yang membawa islam di Sumatra
selatan, bisa dikatakan sebuah pertanyaan yang di anggap sacral. Why? Penulis
berasumsi bahwasanya, sampai detik ini belum ada bukti yang otentik akan
masuknya islam di nusantara terkhusus di Sumatra-selatan. Penulis berasumsi
bahwa bukti-bukti dari sejarawan semisal, Hamka, Snowk, dan lain-lain hanya
meneliti berdasarkan bukti peninggalan saja dan kemudian di musawarohkan atau
diseminarkan oleh berbagai tokoh-tokoh sejarawan, semisal di medan pada tahun
1963 yang kemudian dari berbagai hasil seminar dipergunakan sebagai documenter
hasil penelitian.
Apakah para sejarawan itu salah dalam meneliti?
Saya kira tidak. Sebab, masuk dan berkembang islam di bumi nusantara ini
tidak meninggalkan kitab,atau manuskrip-manuskrip dan hanya meninggalkan Nisan, dan
sebuah cultur. Sudah sangat bisa dipastikan bahwasanya. Sejarawan pun
lumayan kesulitan untuk menafsirkan atau meneliti secara otentik. Bagitu pula
dengan sebuah nisan, bagi penulis, Nisan pun perlu sekiranya mendapat perhatian
secara khusus. Alat yang mampu digunakan untuk meneliti barang kali di
antaranya metode dealektika dengan orang-orang terdahulu.
B.
Rumusan Masalah
1.
Sejarah
masuknya islam di bumi Sumatra?
2.
Bagaimana keadaan
masyarakat sumatra sebelum masuknya islam?
3.
Sebutkan Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Masuk Dan
Berkembangnya Islam di Sumatera
Bukti tertulis mengenai adanya masyarakat Islam di
Indonesia tidak ditemukan sampai dengan abad 4 H (10 M). Yang dimaksud dengan
bukti tertulis adalah bangunan-bangunan masjid, makam, ataupun lainnya.
Hal ini memberikan kesimpulan bahwa pada abad 1—4 H
merupakan fase pertama proses kedatangan Islam di Indonesia umumnya dan
Sumatera khususnya, dengan kehadiran para pedagang muslim yang singgah di
berbagai pelabuhan di Sumatera. Dan hal ini dapat diketahui berdasarkan
sumber-sumber asing.
Dari literature Arab, dapat diketahui bahwa
kapal-kapal dagang Arab sudah mula
berlayar ke wilayah Asia Tenggara sejak permulaan
abad ke– 7 M. Sehingga, kita dapat berasumsi, mungkin dalam kurun waktu abad
1—4 H terdapat hubungan pernikahan anatara para pedagang atau masyarakat muslim
asing dengan penduduk setempat sehingga menjadikan mereka masuk Islam baik
sebagai istri ataupun keluarganya.
Sedangkan bukti-bukti tertulis adanya masyarakat
Islam di Indonesia khususnya Sumatera, baru ditemukan setelah abad ke– 10 M.
yaitu dengan ditemukannya makam seorang wanita bernama Tuhar Amisuri di Barus,
dan makam Malik as Shaleh yang ditemukan di Meunahasah Beringin kabupaten Aceh
Utara pada abad ke– 13. M.
B.
Keadaan Masyarakat Sumatra
Sebelum Masuknya Islam
Sumatera Utara memiiki letak geografis yang
strategis. Hal ini membuat Sumatera Utara menjadi pelabuhan yang ramai, menjadi
tempat persinggahan saudagar-saudagar muslim Arab dan menjadi salah satu pusat
perniagaan pada masa dahulu.
Sebelum masuk agama Islam ke Sumatera Utara,
masyarakat setempat telah menganut agama Hindu. Hal ini dibuktikan dengan kabar
yang menyebutkan bahwasanya Sultan Malik As-Shaleh, Sultan Samudera Pasai
pertama, menganut agama Hindu sebelum akhirnya diIslamkan oleh Syekh Ismael.
Sama halnya dengan Sumatera Utara, Sumatera Selatan
juga memiliki letak geografis yang strategis. Sehingga pelabuhan di Sumatera
Selatan merupakan pelabuhan yang ramai dan menjadi salah satu pusat perniagaan
pada masa dahulu. Oleh karena itu, otomatis banyak saudagar-saudagar muslim
yang singgah ke pelabuhan ini.
Sebelum masuknya Islam, Sumatera Selatan telah
berdiri kerajaan Sriwijaya yang bercorak Buddha. Kerajaan ini memiliki kekuatan
maritim yang luar biasa. Karena kerajaannya bercorak Buddha, maka secara tidak
langsung sebagian besar masyarakatnya menganut Agama Buddha.
Letak yang strategis menyebabkan interaksi dengan
budaya asing, yang mau tidak mau harus dihadapi. Hal ini membuat secara tidak
langsung banyak budaya asing yang masuk ke Sriwijaya dan mempengaruhi kehidupan
penduduknya dan sistem pemerintahannya. Termasuk masuknya Islam.
Bangsa Indonesia yang sejak zaman nenek moyang
terkenal akan sikap tidak menutup diri, dan sangat menghormati perbedaan
keyakinan beragama, menimbulkan kemungkinan besar ajaran agama yang berbeda
dapat hidup secara damai. Hal-hal ini yang membuat Islam dapat masuk dan
menyebar dengan damai di Sumatera selatan khususnya dan Pulau Sumatera umumnya.
C.
Masuk dan Berkembangnya
Islam Di Sumatera Selatan
Palembang adalah kota yang memiliki letak geografis
yang sangat strategis. Sejak masa kuno, Palembang menjadi tempat singgah para
pedagang yang berlayar di selat Malaka, baik yang akan pergi ke negeri Cina dan
daerah Asia Timur lainnya maupun yang akan melewati jalur barat ke India dan
negeri Arab serta terus melewati jalur barat ke India dan negeri
Arab serta terus ke Eropa. Dan selain pedagang, para peziarah pun banyak
menggunakan jalur ini. Persinggahan ini yang memungkinkan terjadinya agama
Islam mulai masuk ke Palembang (Sriwijaya pada waktu itu) atau ke Sumatera
Selatan.
Ada sebuah catatan sejarah Cina yang ditulis oleh
It’sing, ketika ia berlayar ke India dan akan kembali ke negeri Cina dan
tertahan di Palembang. Kemudian ia membuat catatan tentang kota dan
penduduknya. Ada dua tempat di tepi selat Malaka pada permulaan abad ke– 7 M
yang menjadi tempat singgah para musafir yang beragama Islam dan diterima
dengan baik oleh penguasa setempat yang belum beragama Islam yaitu Palembang
dan Keddah. Dengan demikian dapat disimpulkan, pada permulaan abad ke- 7 M di
Palembang sudah ada masyarakat Islam yang oleh penguasa setempat (pada waktu
itu Raja Sriwijaya) telah diterima dengan baik dan dapat menjalankan ibadah menurut
agama Islam.
Selain itu, ada sumber yang menyebutkan bahwa telah
ada hubungan yang erat antara perdagangan yang diselenggarakan oleh
kekhalifahan di Timur Tengah dengan Sriwijaya. Yaitu dengan mempertimbangkan
sejarah T’ang yang memberitakan adanya utusan raja Ta-che (sebutan untuk Arab)
ke Kalingga pada 674 M, dapatlah dipastikan bahwa di Sumatera Selatan pun telah
terjadi proses awal Islamisasi. Apalagi T’ang menyebutkan telah adanya kampong
Arab muslim di pantai Barat Sumatera.
Sesuai dengan keterangan sejarah, masuknya Islam ke
Indonesia tidak mengadakan invasi militer dan agama, tetapi hanya melaui jalan
perdagangan. System penyebaran Islam yang tidak kenal misionaris dan tidak
adanya system pemaksaan melalui perang, melinkan hanya melaui perdagangan saja
memungkinkan Sriwijaya sebagai pusat kegiatan penyebaran agama Budha, dapat
menerima kehadiran Islam di wilayahnya.
Berdasarkan sejarah, Sriwijaya terkenal memiliki
kekuatan maritim yang tangguh. Walaupun ada yang meragukan hal tersebut karena
melihat kondisi maritime bangsa Indonesia sekarang.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan putra
pribumi ikut berlayar bersama para pedagang Islam ke pusat agama Islam yaitu
mekkah. Dan tidak menutup kemungkinan pula, putera pribumi mengadakan ekspedisi
ke timur tengah untuk memperdalam keilmuan agama Islam.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa bangsa Indonesia
tidak serta merta menunggu para pedagang Islam baik itu dari bangsa Arab
ataupun sekitarnya untuk mencari tambahan pengetahuannya tentang ajaran agama
Islam.
D.
Kerajaan-kerajaan Islam di
Sumatera
1.
Kerajaan Perlak
Kerajaan Perlak adalah kerajaan Islam pertama di
Nusantara. Kerajaan Perlak berdiri pada abad ke-3 H (9 M). Disebutkan pada
tahun 173 H, sebuah kapal layar berlabuh di Bandar Perlak membawa angkatan
dakwah di bawah pimpinan nakhoda khalifah. Kerajaan Perlak didirrikan oleh
Sayid Abdul Aziz (Raja Pertama Kerajaan Perlak) dengan gelar Sultan Alaidin
Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Pada akhir abad ke 12, di pantai timur Sumatera terdapat
negara Islam bernama Perlak. Nama itu kemudian dijadikan Peureulak, didirikan
oleh para pedagang asingg dari Mesir, Maroko, Persia, Gujarat, yang menetap di
wilayah itu sejak awal abad ke 12. Pendirinya adalah orang Arab suku Quraisy.
Pedagang Arab itu menikah dengan putri pribumi, keturunan raja Perlak. Dari
perkawinan tersebut ia mendapat seorang anak bernama Sayid Abdul Aziz.
Sayid Abdul Aziz adalah sultan pertama negeri Perlak. Setelah dinobatkan
menjadi sultan negeri Perlak, bernama Alaudin Syah. Demikian ia dikenal sebagai
sultan Alaidin Syah dari negeri Perlak.
Angkatan dakwah yang dipimpin nakhoda khalifah
berjumlah 100 orang, yang terdiri dari orang Arab, Persia, dan India. Mereka
ini menyiarkan Islam pada penduduk setempat dan keluarga istana. Salah seorang
dari mereka yaitu Sayid Ali dari suku Quraisy kawin dengan seorang putri yakni
Makhdum Tansyuri, salah seorang adik dari Maurah Perlak yang bernama Syahir
Nuwi. Dari perkawinan ini lahirlah Sayid Abdul Aziz, putra campuran Arab Perlak
pada tahun 225 H.
Kerajaan ini mengalami masa jaya pada masa
pemerintahan Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat
(622-662 H/1225-1263 M).Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami
kemajuan pesat terutama dalam bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah
Islamiah. Sultan mengawinkan dua putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani)
dengan Sultan Malikul Saleh dari Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan
Raja Tumasik (Singapura sekarang).
Perkawinan ini dengan parameswara Iskandar Syah
yang kemudian bergelar Sultan Muhammad Syah.Sultan Makhdum Alaidin Malik
Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat kemudian digantikan oleh Sultan Makhdum
Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (662-692 H/1263-1292 M). Inilah
sultan terakhir Perlak. Setelah beliau wafat, Perlak disatukan dengan Kerajaan
Samudra Pasai dengan raja Muhammad Malikul Dhahir yang adalah Putra Sultan
Malikul Saleh dengan Putri Ganggang Sari.
Perlak merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal
ini terlihat dari adanya mata uang sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan
terbuat dari emas (dirham), dari perak (kupang), dan dari tembaga atau
kuningan.
2.
Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh
dan terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kapan berdirinya Kesultanan
Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan masih menjadi perdebatan
para ahli sejarah. Namun, menurut Uka Tjandrasasmita (Ed) dalam buku Badri
Yatim, menyatakan bahwa kemunculannya sebagai kerajaan Islam
diperkirakan mulai awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari
proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi pedagang-pedagang
Muslim sejak abad ke-7 dan seterusnya. Berdasarkan berita dari Ibnu Batutah,
dikatakan bahwa pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam, yaitu kerajaan
Samudra Pasai. Hal ini dibuktikan dengan adanya batu nisan makam Sultan Malik
Al Saleh (1297 M), Raja pertama Samudra Pasai.
Malik Al-Saleh, raja pertama kerajaan Samudera
Pasai, merupakan pendiri kerajaan tersebut. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai
disebutkan nama Malik Al-Saleh sebelum menjadi raja adalah Merah Sile
atau Merah Selu. Ia masuk Islam setelah mendapat mendapatkan seruan dakwah dari
Syaikh Ismail beserta rombongan yang datang dari Mekkah.
Pendapat bahwa Islam sudah berkembang di sana
sejak awal abad ke-13 M, didukung oleh berita China dan pendapat Ibn Batutah
yang mengunjungi Samudera Pasai pada pertengahan abad ke 14 M (tahun 746 H/1345
M). Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan
Malikul Zhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan
mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan
banyak kerajaan, Malikul Zhahir tidak pernah bersikap sombong. Kerendahan
hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah.
Samudera Pasai ketika itu merupakan pusat studi
agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk
berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan. Selain itu, Sultan Maliku
Zhahir juga mengutus para ulama untuk berdakwah ke berbagai wilayah Nusantara.
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai
oleh agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahnya
bersifat Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam) rakyatnya sebagian
besar memeluk agama Islam. Raja raja Pasai membina persahabatan dengan Campa,
India, Tiongkok, Majapahit dan Malaka.
Selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera
Pasai dikenal sebagai salah satu kota dengan bandar pelabuhan yang sangat
sibuk. Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan
lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama. Bukan hanya perdagangan ekspor
impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan
mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal
sebagai uang dirham.
3.
Kerajaan Aceh
Kurang diketahui kapan kerajaan ini
sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, sebagaimana yang dikutip dalam
buku Badri Yatim, bahwa kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M, di atas
puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang
membangun kota Aceh Darussalam.
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya
mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah.
Ketika Mughayat Syah naik tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat
kekuatan dan mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk
menaklukkan kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan
kecil yang terdapat di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peurelak (di
Aceh Timur), Pedir (di Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera
Utara) sudah berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal
sangat anti pada Portugis, karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis,
kerajaan-kerajaan kecil tersebut kemudian ia taklukkan dan masukkan ke dalam
wilayah kerajaannya. Sejak saat itu, kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama
Aceh Darussalam dengan wilayah yang luas, hasil dari penaklukan
kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Peletak dasar kebesaran Kerajaan Aceh adalah
Sultan Alauddin Riayat Syah. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Aceh
Darussalam semakin meluas sampai di Bengkulu di pantai Barat, seluruh Pantai
Timur Sumatera, dan Tanah Batak di pedalaman. Kegiatan perdagangan berkembang
dengan pesat, terutama dengan Gujarat, Arab, dan Turki.
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masa ini merupakan
masa paling gemilang bagi Aceh, di mana kekuasaannya meluas dan terjadi
penyebaran Islam hampir di seluruh Sumatera.
Di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh
Darussalam menjadi salah satu pusat pengembangan Islam di Indonesia. Di Aceh
dibangun masjid Baiturrahman, rumah-rumah ibadah, dan lembaga-lembaga
pengkajian Islam. Di Aceh tinggal ulama-ulama tasawuf yang terkenal, seperti
Hamzah Fansuri, Syamsuddin, Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, dan Abdul Rauf
As-Sinkili.
4.
Kerajaan Minangkabau
Kerajaan Pagaruyung disebut juga sebagai
Kerajaan Minangkabau yang merupakan salah satu Kerajaan Melayu yang pernah
berdiri, meliputi provinsi Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di
sekitarnya. Kerajaan ini pernah dipimpin oleh Adityawarman sejak tahun 1347.
Dan sekitar tahun 1600-an, kerajaan ini menjadi Kesultanan Islam.
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah
kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun dari beberapa
prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman
memang pernah menjadi raja di negeri tersebut.
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang
kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang
singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang
terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh
Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama
Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah
menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau
disebutkan bernama Sultan Alif.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat
yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang
pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau
yang terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang
artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam
bersendikan pada Al-Quran.
Pengaruh agama Islam membawa perubahan secara
fundamental terhadap adat Minangkabau. Tetapi sejak kapan pengaruh Islam
memasuki tubuh adat Minangkabau secara pasti, masih sukar dibuktikan.
Islam juga membawa pengaruh pada sistem
pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti
Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam. Penamaan
nagari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari kata Quduus
(suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung
kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam.
Selain itu dalam perangkat adat juga muncul
istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan
pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai
sebelumnya.
5.
Sejarah kerajaan Riau
Imperium Melayu Riau adalah penyambung warisan
Sriwijaya. Kedatangan Sriwijaya yang mula-mula sejak tahun 517 s/d 683 dibawah
kekuasaan Melayu, dengan meliputi daerah Sumatera tengah dan selatan.
Sriwijaya-Sailendra bermula dari penghabisan abad ke 7 dan berakhir pada
penghujung abad ke 12. Kemaharajaan Melayu yang dimulai dari - Kerajaan
Bintan-Tumasik abad 12-13 M dan kemudian memasuki periode Melayu Riau yaitu -
zaman Melaka abad 14-15 m, - zaman Johor-Kampar abad 16-17 m, - zaman
Riau-Lingga abad 18-19 m
Paramesywara atau Iskandar Syah dikenal dengan
gelar Sri Tri Buana, Maharaja Tiga Dunia (Bhuwana, Kw, Skt berarti dunia), seorang
pangeran, keturunan raja besar. Ia sangat berpandangan luas, cerdik cendikia,
mempunyai gagasan untuk menyatukan nusantara dan akhirnya beliaulah pula yang
membukakan jalan bagi perkembangan islam di seluruh nusantara. Paramesywara
adalah keturunan raja-raja Sriwijaya-Saildendra. Menurut M.Said (dalam bukunya
Zelfbestuur Landchappen) Raja Suran adalah keturunan Raja Sultan Iskandar
Zulkarnain di Hindustan yang melawat ke Melaka, beranak tidak orang laki-laki.
Diantara putranya adalah Sang Si Purba, kawin dengan Ratu Riau. Dari puteranya
menjadi turunan Raja Riau. Sang Si Purba sendiri pergi ke Bukit Sigantung
Mahameru (Palembang) menjadi Raja dan kawin disana. Ia melawat ke Minangkabau
dan menjadi Raja Pagarruyung. Memencar keturunannya menjadi Raja-Raja Aceh dan
Siak Sri Indrapura.
Menurut Sejarah Melayu tiga bersaudara dari Bukit
Siguntang menjadi raja di Minangkabau, Tanjung Pura (Kalimantan Barat) dan yang
ketiga memerintah di Palembang..Yang menjadi Raja di Palembang adalah Sang Nila
Utama. Sang Nila Utama inilah yang menjadi Raja di Bintan dan Kemudian
Singapura
Dalam hikayat Hang Tuah yang terkenal, ada
disebutkan, raja di “Keindraan” bernama Sang Pertala Dewa. Adapula tersebut
seorang raja. Istri baginda hamil dan beranak seorang perempuan yang diberi
nama Puteri Kemala Ratna Pelinggam. Setelah dewasa diasingkan ke sebuah pulau
bernama : Biram Dewa.. Sang Pertala Dewa berburu di pulau Biram Dewa tersebut.
Akhirnya kawin dengan Putri Kemala Ratna PeLinggam. Lalu lahir anaknya yang
dinamai Sang Purba. Setelah itu mereka naik “keindraan”. Kemudian turun ke
Bukit Sigintang Mahameru. Sang purba dirajakan di bukit siguntang. Sang Purba
kawin dengan puteri yang berasal dari muntah seekor lembu yang berdiri ditepi
kolam dimana sang puteri sedang mandi. Lahir seorang putra dinamai Sang Maniaka
dan kemudian lahir pula putera yang kedua Sang Jaya Mantaka, yang ketiga Sang
Saniaka dan yang keempat Sang Satiaka. Sang Maniaka dirajakan di Bintan dan
singapura.
Islam Masuk ke Riau
Sebelum masuknya agama Islam ke daerah Riau, tidak
ada seorangpun dari penduduk Riau yang memegang agama tauhid.
Agama penduduk asli adalah anismisme yang percaya ruh nenek
moyang dan para leluhur, kemudian menyusul pada sebagian penduduk
mereka yang beragama Budha dan sekali berkembang menjadi
Hindu-BudhaNah dalam kesempatan ini , agar lebih jelas pembahasan masuk Islam
ke Riau dibatasi kepada beberapa daerah, yaitu: Kuntu-Kampar, Rokan, Kuantan,
Indragiri, danTaqpung. Menurut Sejarah
Riau, Kuntu-Kampar adalah daerah pertama-tama di
Riau Daratan yang berhubungan dengan orang-orang Islam (pedagang). Hal ini dimungkinkan karena sejak zaman bahari
daerah ini telah berhubungan dengan pedagang-pedagang asing dari negeri Cina, India, dan Arab-Persia. Hubungan tersebut
didasarkan oleh kepentingan perdagangan, karena daerah lembah sungai Kampar
Kanan/ Kiri merupakan daerah penghasil lada terpenting di dunia dalam periode
500-140 M. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau daerah Kuntu-Kampar yang
mula-mula dimasuki agama Islam.
Berdasarkan perjalanan para penyiar agama Islam
yang dating sebagai pedagangitu, maka besar kemungkinan pada abad pertama
hiriah atau abad ke-7 M agama Islam itu mungkin telah sampai di Riau,
sebagaimana juga disimpulkan oleh seminar masuknya islam ke nusantara di Aceh
tahun 1980. Meskipun Islam telah masuk pada abad ke 7 atau 8 Masehi di Riau,
namun penganut agama ini masih terbatas di lingkungan para pedagang dan
penduduk kota di pesisir pantai tersebut. Hal ini disebabkan karena kuatnya
pengaruh agama Budha yang merupakan agama Negara dalam kerajaan Sriwijaya waktu
itu.
6.
Kesultanan Palembang
Pada waktu daerah Palembang menjadi bagian dari
Kerajaan Majapahit, di daerah ini ditempatkan seorang Adipati bernama Ario Damar. (14—15 H/1447 M).
Pada awalnya ia beragama Hindu, lalu kemudian memeluk Islam. Hal ini
menunjukkan bahwasanya pada waktu itu, Islam sudah dominant di Palembang.
Pada suatu hari, Ario Damar mendapat hadiah salah
seorang selir dari Prabu Kertabumi, yang bernama Putri Campa yang sedang hamil
tua. Yang kemudian lahir dari rahimnya seorang anak yang bernama Raden Patah.
Pada tahun 1473, raden Patah bersama adiknya Raden
Kusen (Ario Dillah), menghadap Prabu Kertabumi. Mereka mendapat kepercayaan
untuk membangun desa Bintoro, yang nantinya berkembang dengan pesat dan menjadi
kerajaan Islam Demak yang pada akhirnya menghancurkan Majapahit.
Pada tahun 1528, Demak di serang oleh kerajaan Pajang dan mengalami
kekalahan. Para pembesar kerajaan dipimpin oleh Pangeran Sedo Ing Lautan
bermigrasi ke Palembang yang kemudian mendirikan kerajaan Islam Palembang
Pada akhirnya kesultanan Palembang hilang karena
dihapus status kesultanannya oleh colonial Belanda
7.
Kerajaan Kesultanan Jambi
Kesultanan Jambi adalah Kerajaan Islam yang
berkedudukan di Provinsi
Jambi sekarang.
Kerajaan ini berbatasan dengan Kerajaan Indragiri dan Kerajaan -
Kerajaan Minangkabau seperti Siguntur dan Lima
Kota dii utara. Di selatan kerajaan ini berbatasan dengan Kesultanan
Palembang (kemudian Keresidenan Palembang). Kesultanan Jambi juga
mengendalikan Lembah Kerinci, meskipun pada masa akhir kekuasaannya, kekuasaan
nominal tidak lagi diperdulikan. Ibukota Kesultanan Jambi terletak di Kota
Jambi, yang terletak di pinggir sungai Batanghari.
Sejarah
Wilayah Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan
Malayu dan kemudian menjadi bagian dari Sriwijaya. Pada akhir abad ke-14 Jambi
merupakan Vasal Majapahit, dan pengaruh jawa masih terus mewarnai Kesultanan
Jambi selama abad ke-17 dan abad ke-18.
Berdirinya Kesultanan Jambi bersamaan dengan
bangkitnya Islam di wilayah itu. pada tahun 1616 Jambi merupakan Pelabuhan
terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh, dan pada tahun 1670 kerajaan ini
sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti Johor dan Palembang. Namun
kejayaan Jambi tidak berumur panjang, Tahun 1680-an Jambi kehilangan kedudukan
sebagai Pelabuhan Lada utama, setelah perang dengan Johor dan konflik
internal.
Tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan
Sultan Thaha, sultan yang terakhir, menyerah kepada Belanda, Jambi digabungkan
dengan Keresidenan Palembang. Tahun 1906 Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh
Pemerintah Hindia Belanda.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Apabila
tulisan Suryadinegara adalah tulisan yang mendekati keotentkian sebuah penelitian,
itu artinya proses penyearan ajaran islam tidak hanya berakar dari para
pendatang atau para pedagang. Dapat disimpulkan bahwa pelaku dan cara masuknya
islam disumatra-selatan tidak ubahnya seperti terjadi pada wilayah Indonesia
lainnya, dilakukan oleh putra Indonesia dan tidak berjalan pasif. Dengan
pengertian bangsa Indonesia tidak menunggu kedatangan bangsa Arab semata dengan
upayanya mencari tambahan pengetahuan tentang agama islam.
Khusus
untuk Sumatra-selatan, masuknya agama islam selain dilakukan oleh bangsa arab,
pedagang utusan kholifah Umayah (661-750) dan kholifah Abbasiyah (750-1268),
juga perdagangan dari Sriwijaya berlayar ketimur tengah. Hal yang
demikian ini tidak bertentangan, sekalipun Sriwijaya sebagai pusat pengembangan
ajaran budha, tetapi, karena watak Indonesia yang mempunyai kesanggupan yang
tinggi dalam menghormati perbedaan agama, maka, di wilayah kerajaan Sriwijaya
di izinkan masuknya agama islam melalui jalur perdagangan. Factor yang terakhir
inilah yang memungkinkan Sriwijaya menempuh Sistem pintu terbuka dalam
menghadapi kenyataan masuknya agama islam.
B.
Saran
Saya selaku
penulis menyarankan bahwa setelah membaca makalah ini diharapkan agar pembaca
dapat mengetahui dan memahami tentang sejarah perkembangannya islam di Sumatera
Selatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam: Sejak
Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Judul asli: At-Tarikh Al-Islami,
penerjemah: Samson Rahman, (Akbar Media, Jakarta: 2010), cet. 10
Amin, Samsul Munir , Drs., M.A., Sejarah Peradaban
Islam (Jakarta: Sinar Media Grafika, 2009)
http://education.poztmo.com/2011/06/kesultanan-samudera-pasai.html, di unduh pada
tanggal 12 Mei 2012
http://geosejarah.org/index.php?option=com_content&view=article&id=65:kerajaan-pagaruyung-hegemoni-melampaui-sekat-sekat kewilayahan
& catid =34: artikel & Itemid= 59…. diakses pada tanggal 12 Mei 2013.
http://www.minangforum.com/Thread-Sejarah-Islam-di-Minangkabau, di unduh pada
tanggal 12 Mei 2013.
http://imagination-my.blogspot.com/2012/09/bukti-bukti-masuknya-islam-di-indonesia_1.html, di akses pada
tanggal 15 Mei 2013
Syamsu As, Muhammad , Drg., H., Ulama
Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, (Jakarta: Lentera, 1996).
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam,
(PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2011), cet. 23.
Komentar
Posting Komentar